Oleh: Dr. Febri Handayani, S.H.I., M.H & Lysa Angrayni, S.H., M.H.
Tindak pidana narkotika sebagai extraordinary crime sudah mendapat perhatian yang serius di seluruh dunia karena berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Penjatuhan pidana yang lebih bersifat punitif selama ini justru dirasakan belum memberikan efek jera terhadap pelaku dan bahkan dengan semakin meningkatnya angka penyalahgunaan narkotika berimplikasi pada overcrowded lembaga pemasyarakatan di Indonesia.
Munculnya paradigma keadilan restoratif memberikan peluang bagi penyelesaian perkara penyalahguna narkotika yang lebih humanis, namun tantangannya bisa saja terjadi pada saat aparat penegak hukum lebih menjadikan pidana penjara sebagai primadona dalam penghukuman terhadap pelaku penyalahguna narkotika. Melalui tulilsan ini, penulis berpendapat bahwa dari berbagai aspek regulasi yang mengatur mengenai penyelesaian perkara tindak pidana narkotika khusus bagi penyalahguna narkotika, diharapkan optimalisasi fungsi rehabilitasi sangat diperlukan dalam mewujudkan penyelesaian perkara penyalahguna narkotika sebagai bentuk depenalisasi yang berbasis nlai keadilan restoratif. Restorative justice haruslah dipandang sebagai hal yang tidak menghentikan perkara (di kepolisian tugas untuk menyidik dan di kejaksaan tugas untuk tidak menuntut), namun perlu dipahami bahwa penerapan restorative justice juga harus dilihat unsur-unsur dan melakukan kajian-kajian terhadap kasus perkasus, agar restorative justice terjaga dan semata-mata agar negara turut andil dalam mencapai keadilan yang diinginkan oleh masyarakat.
Dalam konteks tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang bersifat victimless crime, perlu dipertimbangkan untuk diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif. Sistem pemidanaan yang mengedepankan pidana penjara untuk perkara-perkara yang ancaman hukumannya berupa pidana penjara jangka pendek, dalam KUHP baru telah terjadi perubahan paradigma bahwa pidana penjara hanya diterapkan untuk penjara dalam jangka waktu yang panjang. Disinilah letak urgensinya perlu mencari alternatif pidana yang dianggap relevan untuk diterapkan terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
Munculnya gagasan berkenaan dengan pembaruan model dan regulasi yang mengatur restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana penyalahgunaan narkotika merupakan salah satu upaya untuk lebih memanusiakan manusia dalam kerangka hukum progresif. Berbagai gagasan dapat dijadikan sebagai acuan dalam penyelesaian perkara penyalahguna narkotika dalam kerangka depenalisasi yang berbasis nilai keadilan restorative. Gagasan tersebut berkenaan dengan perlunya harmonisasi dan penguatan regulasi yang berkaitan dengan penanganan perkara tindak pidana narkotika khusunya terhadap penyalahguna narkotika, diikuti dengan perlunya peraturan Mahkamah Agung mengenai penyelesaian perkara narkotika di pengadilan dengan pendekatan keadilan restorative. Selain itu, perlunya peran hakim dalam melakukan pengawasan terhadap penghentian penanganan perkara penyalahgunaan narkotika yang menggunakan pendekatan keadilan restoratif, digunakannya model diversi dalam penyelesaian perkara, melakukan revitalisasi fungsi asesmen dalam penyelesaian perkara narkotika di pengadilan, serta optimalisasi penerapan pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
Dalam penerapan restorative justice perlu adanya penegasan dalam model penyelesaian yang benar-benar dapat memberikan keadilan. Menurutnya, sanksi yang tepat sesuai dengan tingkat golongan narkotika dan pertimbangan residivis, pidana penjara masih dianggap relevan untuk digunakan meskipun tidak dalam jangka waktu yang lama, tetapi ia juga menyatakan bahwa pidana denda dapat dijadikan sebagai sanksi alternatif untuk menggantikan pidana penjara sebagai bentuk penyelesaian dengan keadilan restoratif. Sementara Juandra, sebagai salah seorang hakim menyatakan bahwa pidana penjara masih relevan untuk diterapkan, sedangkan rehabilitasi hanya dapat diterapkan terhadap pelaku yang dapat dibuktikan bahwa ia hanya sebagai korban penyalahguna.
Mencari alternatif pemidanaan terhadap pelaku penyalahguna narkotika harus dilihat dari segi efektifitasnya apakah dapat diterapkan atau tidak. Memaksimalkan fungsi rehabilitasi baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dengan daya dukung sarana yang memadai serta optimalisasi asesmen terhadap pelaku pada prinsipnya memiliki potensi yang besar diterapkannya rehabilitasi sebagai satu-satunya pemidanaan yang berbasis keadilan restoratif, yang sejalan dengan tujuan untuk memulihkan pelaku kepada keadaan semula. Penerapan rehabilitasi dapat menjadi efektif apabila terdapat hasil asesmen dari TAT yang seharusnya dilampirkan dalam berkas perkara sehingga dengan diketahuinya tingkat penyalahgunaannya dapat ditentukan pula tindakan rehabilitasi yang diperlukan bagi pelaku. Tentunya hal ini bersandar pada tujuan pemidanaan yang diinginkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang memberikan peluang untuk diterapkannya penanganan perkara dengan keadilan restoratif.
Rehabilitasi sebagai depenalisasi dalam penanganan kasus penyalahguna narkotika haruslah dipandang sebagai tindakan, bukan dalam kerangka penghukuman. Hal ini dikarenakan sifat dari masalah narkotika cukup kompleks dan cenderung berubah. Pemenuhan akan kebutuhan rasa aman bagi pelaku dengan penanganan perkara yang berbasis keadilan restoratif diperlukan dalam kerangka penegakan hukum yang humanis, tersistem, menyenangkan namun memberikan efek jera yang mengarahkan pelaku mampu untuk terlepas dari ketergantungan dan penyalahgunaan narkotika. Selain itu, penanaman nilai-nilai anti narkotika (nilai religius, nilai kejujuran, nilai tanggung jawab, nilai komunikatif dan nilai budaya) kepada pelaku penyalahgunaan narkotika menjadi urgen untuk dilakukan mengingat restorastif justice pada prinsipnya berupaya untuk memulihkan dan bukan menghukum, sehingga akar penyalahgunaan narkotika dapat dihentikan oleh pelaku.
Dengan adanya depenalisasi, secara signifikan dapat memberikan peluang berkurangnya beban sistem peradilan pidana dengan menempatkan sanksinya bukan sebagai bentuk penghukuman badan atau penjara, sehingga jika beban sistem peradilan pidana berkurang. Depenalisasi juga memungkinkan adanya pemulihan pelaku kejahatan. Dengan pendekatan rehabilitasi yang intensif diharapkan dapat membantu untuk mencegah kekambuhan dan memperbaiki reintegrasi pelaku kembali ke masyarakat. Dalam hal ini, menggantikan pidana penjara dengan mengoptimalkan program rehabilitasi, diharapkan dapat memberikan dukungan pengobatan yang diperlukan dalam upaya pemulihan terhadap pelaku penyalahguna narkotika. Selain itu, upaya depenalisasi juga memberi peluang bagi perlindungan hak asasi manusia yang dapat memberikan arah ke stigma yang positif bahwa pelaku dapat dipulihkan.