Oleh: Lysa Angrayni, S.H., M.H. (Dosen Program Studi Ilmu Hukum)
Problematika mengenai eksistensi ‘pidana mati’ seakan-akan tidak pernah selesai untuk dibicarakan karena selalu mengundang pendapat yang pro dan kontra, dengan berbagai alasan yang menjadi dasarnya. Problematika tersebut kian tergerus tergerus baik secara filosofis, sosiologis maupun secara yuridis dikarenakan ‘pidana mati’ dianggap sebagai bentuk hukuman terberat terberat diantara hukuman pidana lainnya. Bukannya tidak beralasan, ‘pidana mati’ sebagai pidana terberat menyangkut nyawa manusia yang tidak dapat diperbaiki lagi apabila sudah di eksekusi, sementara telah terjadi “error in persona” dalam menetapkan hukuman.
Hal menarik lainnya ketika membicarakan mengenai ‘pidana mati’ dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia ketika terjadi perubahan mengenai kedudukan ‘pidana mati’ dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Dalam KUHP (WvS NI) ‘pidana mati’ yang diletakkan dalam jenis pidana pokok pada urutan teratas yang menandakan bahwa ‘pidana mati’ adalah jenis pidana yang terberat. Tetapi dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional), ‘pidana mati’ tidak lagi diletakkan sebagai pidana pokok tetapi mendapat “posisi khusus” yang diatur secara tersendiri dan selalu diancamkan secara alternatif. Alasan pembentuk undang-undang mengubah posisi ‘pidana mati’ tersebut sebagai “jalan tengah” untuk menjawab pro dan kontra dari kalangan abolisionis dan retensionis yang selalu “berseteru” mendebatkan ‘pidana mati’. Dengan diancamkannya ‘pidana mati’ secara alternatif dengan pidana jenis yang lain, seperti pidana penjara seumur hidup, termasuk ketentuan mengenai masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun akan menjadi pertanyaan serius apakah eksistensi ‘pidana mati’ tetap relevan dengan tujuan pemidanaan yang sejalan dengan arah pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
‘Pidana mati’ dalam KUHP Nasional diatur dalam Pasal 100 dan 101. Pasal 100 UU Nomor 1 Tahun 2023 pada prinsipnya berisikan bahwa hakim menjatuhkan ‘pidana mati’ dengan masa percobaan 10 tahun yang dicantumkan dalam putusan pengadilan dan masa percobaan tersebut dimulai 1 hari sejak putusan “inkracht”. Dalam penjatuhan putusan yang demikian, tetap memperhatikan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri atau melihat peran terdakwa dalam tindak pidana serta ada alasan meringankan. Dalam pasal tersebut, apabila ter’pidana mati’ menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, ‘pidana mati’ dapat diubah menjadi penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung, tetapi jika terjadi sebaliknya dimana terpidana tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang baik dan tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka ‘pidana mati’ dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Selanjutnya dalam Pasal 101 dinyatakan bahwa ‘pidana mati’ dapat berubah menjadi penjara seumur hidup berdasarkan Keputusan Presiden, apabila grasi yang diajukan oleh ter’pidana mati’ ditolak dan hukuman tersebut tidak dilaksanakan selama 10 tahun sejak grasi ditolak.
Berdasarkan ketentuan mengenai ‘pidana mati’ tersebut, ada beberapa hal yang menarik untuk dianalisis terkait eksistensi ‘pidana mati’ dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP apabila dikaitkan dengan tujuan pemidanaan, sebagai berikut:
Pertama, terkait dengan tujuan pemidanaan yang terdapat dalam Pasal 51 KUHP Nasional dalam hal mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat, dalam hal ini tentunya hanya memberikan rasa nyaman bagi masyarakat tanpa memperhatikan kepentingan harkat dan martabat pelaku, dimana jika ‘pidana mati’ tetap diberikan maka pelaku secara otomatis tidak lagi diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan ketentuan dari Pasal 51 KUHP Nasional yang menyatakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Dengan tetap diakuinya ‘pidana mati’ dalam sistem hukum pidana di Indonesia, meskipun diancamkan secara alternatif, kemungkinan diterapkan ‘pidana mati’ masih memiliki peluang sepanjang undang-undang mengadakan ‘pidana mati’, karena jika grasi yang diajukan ditolak oleh Presiden, maka ‘pidana mati’ tetap dilaksanakan (Pasal 99 ayat (1) KUHP Nasional).
Kedua, sifat khusus dari pencantuman ‘pidana mati’ yang diancamkan secara alternatif, meskipun menjadi “jalan tengah” untuk menghentikan perdebatan dari kalangan abolisionis dan retensionis, kedepannya akan menjadi “jalan yang ambigu” karena memberikan alternatif atas dua hal yang berbeda sifat penghukumannya. Memberikan jalan alternatif bagi ‘pidana mati’ dengan pidana penjara, baik penjara seumur hidup atau penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah dua hal yang akan memberikan pilihan kepada yang lebih meringankan karena ‘pidana mati’ dilihat dari sifatnya menghilangkan nyawa sedangkan pidana penjara hanya menghilangkan kebebasan bergerak dari seseorang.
Ketiga, dalam pola pemidanaan modern yang lebih memilih pemidanaan yang rehabilitatif, dimana telah banyak negara-negara yang menghilangkan ‘pidana mati’, termasuk Belanda sebagai negara yang “mengkonkordansikan” WvS nya ke Indonesia, sudah seharusnya Indonesia untuk ikut mempertimbangkan kembali eksistensi ‘pidana mati’ guna menyelaraskan pada tujuan pemidanaan sebagaimana yang tertera dalam Pasal 52 KUHP Nasional.
Keempat, ‘pidana mati’ belum tentu memberikan jaminan pada efektivitas penurunan tingkat kejahatan dan memberikan efek jera kepada pelaku. Tujuan pemidanaan sebagaimana tertuang dalam Pasal 51 huruf b KUHP Nasional menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna. Dengan tetap diakuinya ‘pidana mati’ dalam sistem hukum pidana nasional juga berpotensi terjadinya kesalahan dalam menghukum jika ‘pidana mati’ tersebut nantinya benar-benar diterapkan. Akan terdapat potensi dan risiko besar jika yang tidak bersalah dihukum, karena salah satu kelemahan dari adanya ‘pidana mati’ adalah tidak dapat dilakukan peninjauan kembali apabila telah dieksekusi.
Kelima, meskipun sebagai jalan tengah perdebatan pro kontra ‘pidana mati’, dengan ancaman secara alternatif, potensi pengenaan ‘pidana mati’ bisa saja terjadi, artinya ‘pidana mati’ masih berpotensi untuk tetap dilaksanakan dalam sistem hukum pidana di Indonesia, sehingga apabila dikaitkan dengan tujuan pemidanaan akan bertentangan dengan nilai kemanusiaan, yang mendasari peradilan pidana yang adil dan manusiawi, sehingga tujuan pemidanaan yang tidak merendahkan martabat manusia tidak akan tercapai karena telah merampas hak hidup seseorang.
Keenam, ketentuan dalam Pasal 100 ayat (4) KUHP Nasional terkait frasa menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji. Frasa menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji menurut hemat penulis berpotensi diputuskan secara subyektif karena untuk menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji akan memberikan penilaian yang berbeda bagi setiap orang dan tentu saja hal ini akan berpotensi terjadinya “kolusi” dalam memberikan pertimbangan “berkelakuan baik”.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis perlu adanya penyelarasan antara model pemidanaan dengan tujuan pemidanaan dalam hukum pidana nasional pasca diberlakukannya UU Nomor 1 tahun 2023 sebagai KUHP Nasional. Meskipun dalam konteks tujuan pemidanaan, terdapat beberapa pandangan yang berbeda terkait dengan ‘pidana mati’ dimana beberapa pendapat menilai bahwa ‘pidana mati’ memiliki tujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan serta memberikan keadilan bagi korban atau masyarakat dan dianggap sebagai bentuk pembalasan yang setimpal terhadap kejahatan yang dilakukan. Di sisi lain, ‘pidana mati’ tidak selaras dengan tujuan pemidanaan yang seharusnya lebih mengutamakan rehabilitasi, pencegahan kejahatan, dan pemulihan sosial. ‘pidana mati’ juga dianggap sebagai bentuk hukuman yang tidak dapat ditarik kembali jika terjadi kesalahan atau kesalahpahaman dalam proses peradilan. Namun jika akan tetap dipertahankan dalam sistem Hukum Pidana di Indonesia, maka penerapan ‘pidana mati’ melalui putusan hakim termasuk dengan penetapan masa percobaan 10 tahun “dalam penantian” apakah ‘pidana mati’ akhirnya diterapkan kepada pelaku atau tidak, haruslah dilaksanakan secara selektif dan akuntabel, terutama dalam penetapan syarat-syarat khusus untuk menganulir ‘pidana mati’ tersebut.